Sabtu, Maret 28, 2009

"Tarsius Hewan Endemik Sulawesi"

Tak bisa dipungkiri bahwa lokasi Indonesia di daerah tropik dan keragaman floranya sangat mendukung kehidupan satwa yang ada di dalamnya. Tidak mengherankan jika Indonesia merupakan salah satu negara dengan ragam jenis primata terkaya di Dunia. Dari 195 jenis primata yang diketahui 40 jenis ditemukan di Indonesia, dan 24 jenis diantaranya merupakan satwa endemik.
Salah satu pulau yang memegang peranan penting dalam penyebarann jenis primata di Indonesia yakni Sulawesi dengan 12 jenis Primata endemik, salah satunya adalah marga Tarsius.

Tarsius
dikenal masyarakat Sulawesi sebagai binatang hantu karena berukuran tubuh kecil dengan mata yang lebar (bolak) dan aktif melakukan kegiatan pada malam hari (nokturnal). Tarsius berukuran tubuh mungil dengan berat 110-120 gr dengan panjang tubuh 115-120 mm. Hewan ini bisa dijumpai di hutan-hutan primer, sekunder bahkan di perkebunan tepi hutan. Tarsius adalah hewan pemangsa berbagai jenis serangga, dengan keunikan hewan ini sebagain besar termasuk hewan yang setia pada pasangannya (monogamus).Tarsius juga hidup secara berkelompok pada pohon-pohon atau semak-semak tetapi tidak bersarang, bergerak dengan meloncat dari pohon yang satu ke pohon yang lain. berkomunikasi dengan menggunakan suara yang nyaring terhadap kelompoknnya. Hewan ini aktif mencari makan menjelang malam dan pada waktu subuh. Waktu istirahat digunakan pada siang hari. Tarsius meninggalkan air seni pada tempat-tempat yang disinggahi sebagai tanda wilayah kekuasaannya.

Ada beberapa jenis tarsius endemik di bumi Sulawesi antara lain: Tarsius Spectrum,
yang dapat di temui di (Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah,Cagar alam tangkoko Sulawesi Utara), Tarsius dianae,Tarsius pumilus yang dapat di temui di (Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah dan di gunung Latimojong Sulawesi Selatan), Tarsius sangiriensis yang hanya bisa di jumpai di (Sangihe dan Talaud Sulawesi Utara).

Tarsius belum dapat dipastikan jumlah populasinya pada Hutan Tropis Sulawesi karena kurangnya data.
Menurut salah seorang pemerhati lingkungan Saudara Rumiyanto S.Pd, Tarsius dapat juga di jumpai di tepi-tepi hutan Kabupaten Buol ini menandakan bahwa hampir semua kawasan hutan khususnya Sulawesi Tengah dihuni Tarsius.
seperti halnya hewan primata endemik Sulawesi lainnya satwa ini dilindung dengan UU No 5 tahun 1990, "Hewan ini dilindung baik di kawasan hutan konservasi maupun di luar kawasan hutan konservasi".

Ancaman utama penurunan populasi Tarsius antara lain akibat dari perb
uruan dan kegiatan penangkapan dan tidak kalah pentingnya adalah hilangnya habitat alam asli yang diakibatkan oleh penebangan, perambahan hutan dan berubahnya hutan menjadi lahan perkebunan serta kurangnya informasi kepada masayarakat tentang keberadaan hewan primata endemik Sulawesi ini sehingga masyarakat tidak menyadari ternyata hewan yang ditemui secara kebetulan di hutan-hutan tropik Sulawesi adalah hewan Primata endemik Sulawesi.

Mari kita upayakan konservasi !!! untuk melindungi aset yang berharga ini di Bumi Sulawesi. (abang Asho).

Jumat, Maret 20, 2009

Bunglon Hewan Berwarna Warni

Bunglon merupakan salah satu reptil atau hewan bertulang belakang (vertebrata) yang sangat unik dari hewan "vertebrata lain pada umumnya dan reptil pada khususnya", bunglon dapat berubah-ubah warna disesuaikan pada tempatnya. Apabila hewan tersebut tidak terkontaminasi dengan manusia. Dengan perubahan warna tersebut hewan unik ini dapat mengelabui atau selamat dari pemangsa atau predator yang dapat merugikan dirinya. Bunglon memiliki ciri-ciri antara lain memiliki kepala (caput) yang berukuran kurang lebih 2 cm yang dilengkapi dengan mulut (rima oris), telinga (orgarun visus), mata dan lain sebagainya seperti pada reptil-reptil lainnya, memiliki badan yang panjangnya kira-kira 8-12 cm tergantung kedewasaan hewan tersebut, tetapi panjang standar badan adalah 12 cm, yang dilengkapi dengan sirip belakang (pinna dorsalis). Ktika hewan ini terancam oleh predator maka adrenalinnya akan berkontraksi yang akan dihantarkan dengan memperlihatkan atau berdirinya pinna dorsalis (sirip belakang) tersebut.
Bunglon memiliki ekor (caudal) yang lebih panjang dari tubuhnya yang berfungsi sebagai penangkap rangsang juga akan berkelok-kelok ketika ada predator yang panjangnya 25-30 cm yang dilengkapi dengan sisik (squama).
Bunglon Lore yang dilengkapi dengan kaki yang unik, berbeda dengan kaki Toke (gecko gecko), dimana kakidepan pendek dan belakang agak panjang juga memiliki jari-jari yang panjang dan kecil, berfungsiuntuk melekat atau berpegang pada tempatnya. Bunglon atau hewan berubah-ubah warna ini dapatditemukan di ketinggian sekitar 1500-2000 mdpl. yang banyak ditemukan di daerah Taman NasionalLindu (TNLL), yang kemungkinana masih banyak djenis-jenis lain yang tersebar di daerah tersebutbelum ditemukan manusia. Karena kurangnya perhatian masyarakat pada hewan warna warnitersebut juga dengan adanya pengrusakan hutan yang terjadi sekarang secara besar-besaran, makabisa saja hewan ini terancam punah. Dibutuhkan kepedulian kita semua untuk tetap menjagakelestarian hewan yang unik ini dengan upaya konservasi yang berkesinambungan.
"Jagalah Aku Maka Akan Kubuatkan Engkau Hati Yang Senang Dan Jiwa Yang Tenang Dengan Keindahan"
SALAM KONSERVASI!!!!!
(Nawi, Angk III BCC)

Selasa, Maret 10, 2009

Info Keanekaragaman Hayati Indonesia

Akhir tahun 2003, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia (BAPPENAS) mengeluarkan dokumen Nasional Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan-IBSAP, 2003-2020).
Dokumen Ini mempunyai keinginan mencapai sasaran terwujudnya masyarakat Indonesia yang peduli, berdaya dan mandiri dalam melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara optimal, adil dan berkelanjutan melalui pengelolaan yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pertanyaannya sejauh mana masyarakat sadar akan keanekaragaman hayati bila mereka sendiri tidak mengenal maknanya? Selama ini, keanekaragaman hayati sepertinya menjadi menu kompleks pembicaraan aktivis lembaga swadaya masyarakat, akademisi dan kaum intelek saja. Padahal menurut harapan BAPPENAS, pemahaman terhadap keanekaragaman hayati harus segera di bawah ketingkat 'akar rumput'. Sehingga masyarakat mengerti makna dan manfaat sebenarnya keanekaragaman hayati.
Menurut Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), masyarakat Indonesia Menggunakan lebih dari 940 spesies liar sebagai bahan tanaman obat tradisional maupun modern, juga 100 spesies tumbuh-tumbuhan sebagai sumber karbohidrat, tidak urang dari 100 spesies kacang-kacangan, 450 spesies buah-buahan serta 250 spesies sayur termasuk jamur yang menjadi menu masyarakat sehari-hari. Selain itu ternyata ada 56 spesies bambu dan 150 spesies rotan yang memberi manfaat dan sumber pendapatan ekonomi.
Kekayaan keanekaragaman hayati untuk tumbuhan, misalnya juga di data oleh Yayasan Prosea (Plant Resources of South East Asia-Sumber Tanaman Asia Tenggara), yang mendeskripsikan kekayaan tanaman di Asia Tenggara dan menjadikannya buku hijau dengan jumlah 20 jilid buku. Secara keseluruhan ternyata 40 % nilai ekonomi dunia mengandalkan proses produk keanekaragaman hayati, yaitu yang terkait dengan industri farmasi, kesehatan, pangan, pertanian dan kosmetika yang mengarah pada komersialisasi.
Di Indonesia, menurut BAPPENAS penyusutan keanekaragaman hayati terjadi berbarengan dengan rusaknya hutan alam. Misalnya tahun 1999, didata dari 46,7 juta ha luas hutan produksi, hanya 41 % yang berupa hutan primer. Sedangkan kawasan hutan alam yang rusak di seluruh Indonesia mencapai 43 juta ha, artinya sepertiga dari luas hutan Indonesia yang mengandung keanekaragaman hayati telah musnah. Sekarang ini, ditambah dengan laju rata-rata deforestrasi antara 1,6 hingga 2,4 juta ha/thn. Dengan demikian setiap saat Indonesia akan kehilangan stok genetic (plasma nuftah) keanekaragaman hayati yang dimiliki.